Sabtu, 18 April 2009

PENDIDIKAN USIA DINI II

IMPLEMENTASI KONSEP MONTESSORI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Kategori: Insan Peduli PTKPNF (8652 kali dibaca)


A. PENDAHULUAN
Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.
Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan 2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan bagaimana Mantessori mendisain program pembelajaran untuk anak usia dini.

B. PEMBAHASAN
Tokoh pendidikan anak usia dini, Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa-masa yang sangat baik untuk suatu formasio atau pembentukan. Masa ini juga masa yang paling penting dalam masa perkembangan anak, baik secara fisik, mental maupun spritual. Di dalam keluarga dan pendidikan demokratis orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, baik dan tepat bagi setiap orang tua dan pendidik yang terlibat pada proses pembentukan ini, mengetahui, memahami perkembangan anak usia dini. Tapi sekolah kita belum memiliki based line data yang holistik yang dapat memberikan berbagai informasi tentang perkembangan behavior dan kesulitan belajar anak terhadap berbagai subkompetensi materi sulit. Informasi ini sangat diperlukan untuk melakukan treatmen secara berjenjang tentang perkembangan anak sejak usia dini sampai mereka dewasa (SLTA).

Perkembangan Anak Usia Dini
Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.

Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak
Anak taman kanak-kanak termasuk dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.
Sehubungan dengan ciri-ciri di atas maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.
Dengan adanya tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis, berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.
Pada usia lima tahun pada umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah. Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada usia 4-5 tahun.
Montessori memberikan gambaran peran guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:
a. 80 % aktifitas bebas dan 20 % aktifitas yanag diarahkan guru
b. melakukan berbagai tugas yang mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain
c. menawarkan kesempatran untuk menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas
d. dalil-dalil ditemukan sendiri, tidak disajikan oleh guru
e. atauran pengucapan didapat melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan
setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran
Montessori, mengatakan bahwa pada usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5 tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.
Pendapat Montessori ini didukung oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak. Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab. .
Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.
Perlu diingat juga bahwa minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan penghargaan secara wajar.
Untuk memfasilatasi tingkat perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan.
Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian (menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan apa yang telah dipelajari.

PENDIDIKAN USIA DINI II

Terlalu Banyak Kegiatan Pengaruhi Tumbuh Kembang Anak

Ahli psikologi Lina Erliana Muksin mengingatkan para orang tua bahwa banyaknya kegiatan tambahan yang harus dikerjakan anak-anak mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka.
Kegiatan tambahan dimaksud antara lain kursus dan pelajaran tambahan dengan dalih aktivitas itu secara otomatis akan mengakibatkan anak menjadi berkualitas.
"Pilihan yang salah dan ketidakpahaman untuk memberikan rangsangan yang tepat mempengaruhi tumbuh kembangnya anak. Maraknya acara TV dan permainan elektronik juga menjadi salah satu faktor yang membuat orang tua kurang memiliki kesempatan membina hubungan timbal balik," kata Lina, di Solo, Jumat (29/8).
Ketika menjadi pembicara pada acara bertema Kunci Emas Mengembangkan Kompetensi di Masa Emas Anak, master psikologi ini mengakui bahwa globalisasi memang menjadi tantangan bagi para orang tua, pendidik dan anak sehingga untuk menjawab tantangan itu perlu kegiatan-kegiatan tambahan.
Namun, ujarnya, banyak orang tua yang mempunyai keyakinan banyaknya kegiatan tambahan itu secara otomatis akan membuat kualitas anak mereka otomatis meningkat.
"Padahal terlalu banyaknya kegiatan tambahan seperti kursus mengakibatkan mereka tidak memiliki waktu luang lagi untuk melakukan aktivitas petualangan , misalnya bermain di luar rumah dengan teman-teman mereka," katanya.
Lina mengingatkan pula bahwa aktivitas tambahan yang terlalu banyak itu juga menyita waktu anak dengan bentuk aktivitas yang pasif motorik, sehingga generasi muda itu tidak dapat mengembangkan kemampuan fisik.
Selain itu,anak-anak juga tidak dapat mengamati keadaan sekelilingnya, rasa ingin tahu menjadi berkurang , menjadi kurang kreatif dan terbatasnya pengalaman tentang dunia luar melalui seluruh indra mereka.
"Kondisi ini menjadi tantangan bagi sekolah yang menjadi tumpuan orang tua untuk mengembangkan kompetensi anak," kata psikolog itu.
Oleh karena itu, ujar Lina, sekolah dasar merupakan masa emas bagi semua anak untuk mengembangkan kompetensi mereka.
Sumber: Media Indonesia Online

PENDIDIKAN USIA DINI II

Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.
Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.
Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.
Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.
Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.
Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.
Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.
Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.
Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak
Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)
Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:
Perkembangan fisik motorik
Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.
Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.
Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.
Perkembangan Kognitif
Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.
Perkembangan Moral dan sosial
Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.
Perkembangan Emosional
Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.
Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)
Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).
Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.
Salam Pendidikan!
Penulis : Maya A Pujiati Sumber : Pustaka Nilna

PENDIDIKAN USIA DINI II

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Jalur Pendidikan Formal
Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.
Jalur Pendidikan Nonformal
Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
Jalur Pendidikan Informal
Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

PENDIDIKAN USIA DINI II

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.
Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .
Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.
Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.
Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.
Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."
Sumber: Pers Depdiknas

PENDIDIKAN DASAR II

Pendidikan Dasar Tidak Boleh Dipungut Biaya

Pembiayaan investasi, personalia, dan operasional di sekolah tingkat wajib belajar pendidikan dasar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Dilarang ada pungutan di jenjang sekolah dasar dan menegah pertama yang diselenggarakan pemerintah.
Hal ini diatur tegas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang dikeluarkan pertengahan bulan lalu. PP yang menjadi bagian dari upaya standardisasi pendidikan nasional ini mengatur rinci tentang mekanisme biaya pendidikan, pengelolaan dan tanggung jawabnya.
Menurut Ketua I Forum Aspirasi Guru Independen Indonesia Ahmad Taufan, PP ini memberi konsekuensi ke depan, yaitu tidak adanya lagi kewajiban masyarakat untuk ikut menanggung biaya pendidikan di tingkat wajar dikdas.
"Kalau di Bandung, ya yang dibebaskan itu tingkat SD-SMP karena masih memakai wajar dikdas 9 tahun. Di Jakarta, bisa sampai 12 tahun," tuturnya. Pengecualiannya, jika sekolah itu merupakan bagian dari program rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI). Di sekolah-sekolah negeri bestatus Rancangan SBI ini masih dimungkinkan memungut biaya dari masyarakat untuk mendorong kualitas sekolah. "Ke depan, tidak ada lagi istilah iuran SPP di sekolah dasar dan SMP," ucapnya.
Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 49 PP 48/2008, masyarakat tidaklah dilarang memberikan sumbangan yang tidak mengikat kepada sekolah. Namun, syaratnya, sekolah diwajibkan mempertanggungjawabkan dana secara transaparan dan diaudit oleh akuntan publik. Lalu, wajib diumumkan ke media cetak berskala nasional.
Pungutan itu, ucapnya, terutama untuk alokasi peningkatan kesejehtaraan guru di sekolah. Sebanyak 70 persen dana masyarakat terserap untuk ini (kesejahtaraan guru), tutur guru SDN Merdeka V Kota Bandung ini. Jika pemerintah tidaklah meningkatkan kesejehteraan guru secara bertahap, ia pesimis, pungutan masih akan berlangsung. Kita ketahui, tunjangan profesi itu kan tidak diterima setiap guru. "Tunjangan fungsional yang jelas-jelas diterima seluruh guru, masih suka telat diterima. Sudah setahun ini telat," ujar Taufan.
Menurut Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung Iwan Hermawan, dua PP yang baru saja keluar, yaitu PP 48/2008 ditambah PP 47/2008 tentang Wajib Belajar itu sedikit banyak bakal makin menyulitkan praktik pungutan biaya sekolah dari masyarakat. Rapat penentuan APBS yang berlangung di SD-SMP di minggu-minggu ini bakal alot, prediksinya.
Diturunkan ke Perda
Di Kota Bandung, setidaknya dimulai tahun 2009, kedua PP ini akan diterapkan secara konsekuen. Sebab, kedua PP ini ikut dijadikan referensi aturan dalam penggarapan draf Rancangan Peraturan Daerah Pendidikan di Kota Bandung. Menurut Arif Ramdhani, Sekretaris Pansus Draf Raperda Pendidikan di DPRD Kota Bandung, molornya rencana jadwal pengesahan Raperda Pendidikan ini salah satunya akibat meny esuaikan kedua PP ini.
Ke depan, sesuai PP ini, sekolah di tingkat wajib belajar dikdas tidak boleh lagi dipungut biaya, tuturnya. Ketentuan ini akan menyempurnakan program sekolah gratis yang dijalankan Pemerintah Kota Bandung. Termasuk, mendorong pemen uhan anggaran 20 persen pendidikan, khususnya dari APBD Kota Bandung. Ini sesuai ketentuan Pasal 81 PP 48/2008. Nota APBD dianggap inkonstitusional jika tidak memenuhinya.
SUmber : kompas.co.id

PENDIDIKAN DASAR II

Pendidikan Alternatif untuk Anak

Ngutip sedikit dari Kak Seto: "Setiap anak pada dasarnya cerdas, setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan, setiap anak sedapat mungkin memperoleh pendidikan yang layak bagi diri mereka. Namun dalam pengalaman dilapangan menunjukan bahwasannya banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah. Sebut saja, kasus bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreatifitas anak. Pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah (School Fobia) bagi anak dan orang tua.
Kemudian upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak adalah unik. Lebih jauh lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melihat kondisi ini, maka perlu dicarikan solusi alternative bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, salah satu bentuk kegiatannya yaitu HomeSchooling?...."
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Walaupun bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka, Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas konsep pendidikan home schooling memang an-sich mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby individual (baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan (baca : dalam hal ijasah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha).
Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya dengan pendekatan teoritical education an sich. Kecenderungan teoritical yang intens tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum berganti tanpa visi baik content maupun format penerapannya di lapangan. Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut tanpa reserve.
Kasus kontroversi output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai beralih untuk lebih jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh ke standard yang lebih bersifat mondial misalnya standard Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga pendidikan yang menerapkan sistem ISO dalam program pendidikannya. Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the j ob method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistik.

PENDIDIKAN DASAR II

KEMAMPUAN MOTORIK MURID SEKOLAH DASAR KELAS 2 DI DKI JAKARTA
Latar Belakang

Murid Sekolah Dasar kelas 2 yang umurnya berusia antara 7-8 tahun pada dasamya sudah dapat dilihat seberapa jauh motorik mereka, mengingat sebagian besar dan mereka sudah mulai belajar gerak (sambil bermain) pada saat: di Taman Kanak-kanak ditambah 1 (satu) tahun belajar pendidikan jasmani di kelas 1 (satu) SD serta beberapa bulan di kelas 2. Dengan asuransi tersebut diharapkan murid SD kelas 2 sudah memiliki motorik minimal yang sangat berguna bagi penyesuaian diri kehidupan mereka terutama yang menyangkut gerakan-gerakan dasar yang berguna dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Anak-anak pada masa usia sekolah dasar sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan jasmani yang berlaku, diharapkan memperoleh pengetahuan dan pemahaman motorik yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa. Pada umumnya permainan yang dilakukan oleh murid sekolah dasar merupakan pengembangan dari motorik yang diajarkan oleh guru pendidikan jasmani.
Motorik merupakan suatu kebutuhan yang harus dipelajari pada usia sekolah dasar, mengingat hal tersebut akan sangat dibutuhkan untuk menunjang perkembangan postur tubuh di masa remaja dan dewasa. Berdasarkan pemikiran tersebut, Bidang Laboratorium Gerak Keja Jasmani melakukan survey motorik yang meliputi lari cepat 30 meter, lompat jauh tanpa awalan, tes balok keseimbangan, melempar sasaran, lari zigzag. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan yang sering dilakukan oleh murid sekolah dasar.

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat kemampuan motorik murid sekolah dasar kelas 2.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif (penjajakan) yang dilakukan secara survey mengenai komponen-komponen motorik sekolah dasar kelas 2 sebanyak 500 orang yang diambil secara random di lima wilayah DKI Jakarta.

Kemampuan Motorik yang di Tes
Motorik yang dites dalam survey tersebut meliputi: lari cepat 30 meter (detik), lompat jauh tanpa awalan (cm), tes balok keseimbangan (detik), melempar sasaran (nilai), lari zig-zag (detik).

Tinjauan Pustaka Perkembangan Motorik
Perkembangan gerak dasar dan penyempumaannya merupakan hal yang penting selama masa kanak-kanak. Semua anak-anak, kecuali yang mengalami keterbelakangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, mampu mengembangkan dan mempelajari berbagai macam gerak dan yang lebih rumit. Gerakan-gerakan demikian merupakan pengulangan terus menerus dari kebiasaan dan menjadikannya dasar dari pengalaman lingkungan mereka.
Pengembangan gerak dasar adalah proses dimana anak memperoleh gerak dasar dan yang senantiasa berkembang berdasarkan interaksi:
Proses pengembangan syaraf dan otot yang juga dipengaruhi oleh keturunan.
Akibat dari pengalaman gerak sebelumnya
Pengalaman gerak saat ini
Gerak digambarkan dalam kaitannya dengan pola gerak tertentu dan
Pola gerak dasar adalah bentuk gerakangerakan sederhana yang bisa dibagi ke dalam tiga bentuk geraks sebagai berikut.
Bentuk yang lokomotor (berpindah tempat) dimana bagian tubuh tertentu saja yang digerakkan; misalnya: jalan, lari, loncat.
Bentuk yang non-lokomotor (tidak berpindah tempat) dimana bagian tubuh tertentu saja yang digerakkan; misalnya: mendorong, menarik, menekuk, memutar.
Manipulatif, dimana ada sesuatu yang digerakkan, misalnya: melempar, menangkap, menyepak, memukul dan gerakan lain yang berkaitan dengan lemparan dan tangkapan sesuatu.
Gerakan lokomotor, non-lokomotor dan manipulatif bisa tampak dengan berbagai kombinasi, misalnya: lari sambil melempar dan menangkap bola. Dengan demikian, pola gerik adalah gerak dasar yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu tugas tertentu, karenanya banyak anak yang bisa melaksanakan pola gerak dasar, tapi dengan kecakapan yang bermacam-macam.
Motorik dapat diuraikan dengan kata seperti otomatis, cepat dan akurat atau dengan kata lain titik beratnya adalah pada ketelitian dan ketepatan. Berdasarkan pengerfian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pola gerak merupakan pengertian umum dan motorik merupakan gerak yang lebih khusus.
Sering kali gerak dibedakan antara yang halus dan yang kasar. Gerak halus adalah gerak yang memerlukan ketelitian, dan kecerdikan; sedangkan gerak kasar adaiah gerakan seluruh tubuh dan bagian-bagian tubuh yang besar seperti dalam kegiatan yang berpindah tempat. Banyak gerakan mengandung baik gerakan halus maupun kasar, misainya untuk melempar bola diperlukan ketepatan sasaran dan kecepatan yang mencukupi. Ketepatan memerlukan ketelitian dan penguasaan jari dan tangan (gerakan halus), sedangkan kecepatan lebih memerlukan gerakan tangan dan tubuh yang kasar supaya pelemparannya cukup kuat. Selama 4-5 pertama kehidupan, anak dapat mengendalikan gerakan yang kasar. Gerakan tersebut melibatkan bagian badan yang luas yang digunakan dalam berjalan, berlari dan melompat
Setelah berumur 5 tahun teladi perkembangan yang besar dalam pengendalian koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot yang lebih kecil yang digunakan untuk menggenggam, melempar, menangkap bola, menulis dan menggunakan alat. Seandainya tidak ada gangguan lingkungan gangguan fisik atau hambatan mental yang mengganggu perkembangan motorik secara normal, anak yang berumur 6 tahun akan siap menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah dan berperan serta dalam kegiatan bermain dengan teman sebaya. Masyarakat mengharapkan keadaan yang seperti itu dari anak.
Beberapa hal penting dalam mempelajari motorik yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

Kesiapan belajar
Apabila pembelajaran itu dikaitkan dengan kesiapan belajar, maka yang di pelajari dengan waktu dan usaha yang sama oleh orang yang sudah siap akan lebih unggul ketimbang oleh orang yang belum siap untuk belajar.

Kesempatan belajar
Banyak anak yang tidak berkesempatan untuk mempelajari motorik karena hidup dalam lingkungan yang tidak menyediakan kesempatan belajar atau karena orang tua takut hal yang demikian akan melukai anaknya.

Kesempatan berpraktek/latihan
Anak harus diberi waktu untuk berpraktek/latihan sebanyak yang diperlukan untuk menguasai . Meskipun demikian, kualitas praktek/latihan jauh lebih penting ketimbang kuantitasnya. Jika anak berpraktek/berlatih dengan model sekali pukul hilang, maka akan berkembang kebiasaan kegiatan yang jelek dan gerakan yang tidak efisien.

Model yang baik
Dalam mempelajari motorik, meniru suatu model memainkan peran yang penting, maka untuk mempelajari suatu dengan baik, anak harus dapat mencontoh yang baik.

Bimbingan
Untuk dapat meniru suatu model dengan betul, anak membutuhkan bimbingan. Bimbingan juga membantu anak membetulkan sesuatu kesalahan sebelum kesalahan tersebut terlanjur dipelajari dengan baik sehingga sulit dibetulkan kembali.

Motivasi
Motivasi belajar penting untuk mempertahankan minat dari ketertinggalan. Untuk mempelajari , sumber motivasi adalah kepuasan pribadi yang diperoleh anak dari kegiatan tersebut, kemandirian dan gengsi yang diperoleh dari kelompok sebayanya gerta kompensasi terhadap perasaan kurang mampu dalam bidang lain khususnya dalam tugas sekolah.

Analisa Hasil Penelitian
Sebenarnya cukup banyak variabel dari penelitian ini yang dapat diolah dan dianalisa seperti sarana prasarana, guru pendidikan jasmani dan sebagainya. Namun mengingat keterbatasan waktu, pada kesempatan ini kami hanya mengolah dan menganalisa data hasil penelitian secara global saja yang meliputi tes lompat jauh, tes keseimbangan, tes lempar sasaran, tes lari zig-zag dan tes lari 30 meter baik putra maupun putri dengan mengabaikan faktor sarana prasarana dan guru pendidikan jasmani.

Adapun hasil dimaksud adalah sebagai berikut
Tes Lompat Jauh
Gerakan lompat jauh didasari oleh daya ledak otot tungkai. Pada hasil penelitian ini sebagian besar siswa putra (54,32%) dan putri (80,32%) mempunyai kemampuan motorik lompat jauh yang kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena gerakan-gerakan motorik yang mengandung unsur daya ledak otot kurang terlatih.
Tes Keseimbangan
Keseimbangan tubuh siswa putra sebagian besar adalah baik (64,06%) dan siswa putri adalah sebagian besar sedang (56,8%). Hal ini disebabkan karena secara fisiologis keseimbangan tubuh anak-anak ditentukan oleh fungsi neurologis sistem otak dan sistem vestibular (alat keseimbangan), yang mana pada kelompok siswa ini kedua fungsi tersebut berkembang normal. Disamping itu, anak-anak telah melakukan permainan-permainan yang memerlukan keseimbangan tubuh sejak masa taman kanak-kanak- Misalnya meniti balok, naik sepeda dan lain-lain.
Tes Lempar Sasaran
Tes lempar sasaran membutuhkan kekuatan otot tubuh bagian atas, ketepatan dan koordinasi. Kemampuan melempar mengenai sasaran pada siswa putra sebagian besar adalah sedang (43,98%), sedangkan pada siswa putri yang baik sebanyak 38,04% dan yang kurang sebanyak 34,9%.
Pada pengamatan saat penelitian, lemparan siswa putra dan putri disamping tidak tepat mengenai sasaran, banyak juga yang tidak sampai ke dinding sasaran. Hal ini mungkin disebabkan karena. kekuatan otot tubuh bagian atas pada anak-anak tersebut belum berkembang, sedangkan untuk ketepatan melempar sasaran selain dibutuhkan kekuatan otot juga ketepatan dan koordinasi, yang memerlukan latihan tertentu.
Tes Lari Zig-zag
Lari zig-zag siswa putra (56,15%) dan siswa putri (62,8%) adalah kurang. Hal ini disebabkan karena unsur agilitas (kelincahan) yang diperlukan pada lari zig~zag kurang tedatih.
Lari 30 Meter
Kemampuan lari siswa putra sebagian besar kurang (53,95%) dan kemampuan lari siswa putri sebagian besar adalah sedang (49%) dan kurang (45,02%). Ha ini mungkin disebabkan oleh pola hidup mereka yang kurang aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari seperti terlalu banyak nonton televisi, bermain TV Games, dsb. Disamping itu juga disebabkan faktor keterbatasan arena bermain untuk anak.
Kesimpulan
Secara umum kemampuan motorik siswa kelas 2 sekolah dasar di DKI Jakarta, dapat digambarkan sebagai berikut.
Untuk lompat jauh, led 30 meter dan lari zigzag pada siswa putra dan putri tergolong kurang.
Kemampuan motorik lempar sasarab baik pada siswa putra maupun putri tersebar relatif merata pada ketiga kategori.
Pada siswa putra kemampuan motorik keseimbangan tubuh sebagian besar adalah baik, sedangkan untuk putri sebagian besar berada pada kategori sedang.
Saran
Untuk dapat mengembangkan kemampuan motorik anak sekolah dasar secara optimal mutlak diperlukan sarana prasarana pendidikanjasmani yang memadai, disamping dibutuhkan guru pendidikan jasmani atau guru kelas yang memahami masalah pendidikan jasmani.
Diperlukan penelitian lanjutan agar dapat menjawab seluruh permasalahan mengapa motorik murid sekolah dasar masih kurang memadai.
Oleh: Drs. Purnomo Ananto, MM, dkk.

PENDIDIKAN DASAR II

Program Akselerasi Pendidikan Dasar

Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.
Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.
Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.
Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.
Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal.
Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.
Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.
Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.
Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?
Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.

PENDIDIKAN DASAR II

Pendidikan dasar untuk semua

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia.
Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.
http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html

PENDIDIKAN INFORMAL II

Audit Pendidikan Dimasukkan RUU
Masyarakat Hanya Fokus pada Besaran Anggaran
Senin, 10 Maret 2008 YOGYAKARTA,

KOMPAS - Masukan materi dari masyarakat bagi Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP terus mengalir di tengah polemik perlu tidaknya RUU tersebut disahkan. Salah satu masukan ialah perlunya audit pendidikan dimasukkan menjadi komponen penting RUU BHP. Oleh Agni Rahadyanti Masukan tersebut disampaikan pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri Nasruddin Anshoriy dalam diskusi Mengkritisi RUU BHP dari Sisi Kebudayaan di kompleks Pendapa Tamansiswa, Sabtu (8/3).Sebelum kita bicara yang lain, kita bicara audit pendidikan dulu. Anggaran begitu banyak yang sudah dikeluarkan pemerintah ke mana saja larinya, output-nya seperti apa, tutur Nasruddin. Menurut dia, anggaran pendidikan yang sesuai amanah UUD 1945 besarnya harus mencapai 20 persen dari APBN akan sangat rancu jika tidak diimbangi dengan audit pendidikan. Tanpa adanya audit, seperti yang terjadi selama ini, pemerintah sudah sangat konsumtif membelanjakan anggaran pendidikan. Gugatan Ketua Dewan Pendidikan DI Yogyakarta Wuryadi menambahkan, tuntutan audit pendidikan yang belum masuk ke dalam ranah RUU BHP tersebut memang patut dipikirkan.Selama ini masyarakat banyak menuntut besarnya dana belanja pendidikan sesuai UUD 1945, tetapi gugatan terhadap akuntabilitas audit pendidikan yang memadai belum banyak dilakukan. Jika tidak dilakukan audit, ungkap Wuryadi, bisa saja rumor bahwa anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk perumusan kebijakan dari satu tempat ke tempat lain sehingga menghabiskan sebagian besar dari total 20 persen anggaran pendidikan dari APBN benar adanya. Nasruddin juga menyoroti perlunya memperkecil anggaran bagi sektor pendidikan formal. Saat ini, bangsa Indonesia yang bisa mengakses pendidikan formal saya kira hanya berapa persen. Masih banyak penduduk yang berada di daerah terpencil atau pulau-pulau terluar tidak bisa mengakses pendidikan formal, tutur Nasruddin. Karena itu, anggaran bagi pendidikan informal yang dapat menjangkau mereka harus diperkuat, apalagi saat ini jumlah rakyat miskin semakin banyak. Mereka menempatkan pendidikan sebagai suatu kemewahan. Akses pendidikan belum bisa diperoleh secara merata oleh masyarakat. Dengan kemiskinan yang ada di sekitar kita, pemerataan pendidikan pun harus lebih dikemukakan sebelum peningkatan kualitas pendidikan, ujar Wuryadi.

PENDIDIKAN INFORMAL II

Komunitas Homeschooling Tolak Diskriminasi
Selasa, 15 Januari 2008 JAKARTA,

KOMPAS - Komunitas homeschooling yang tergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif menolak diskriminasi dalam penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK. Komunitas ini meminta supaya draft Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang UNPK benar-benar mengakomodasi kepentingan anak-anak yang memilih jalur pendidikan nonformal dan informal.Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.”Draft-nya tinggal menunggu ditandatangani Mendiknas saja. Kalau untuk soal waktu cukup sulit untuk diubah. Tapi BSNP akan mencoba untuk bisa menyalurkan aspirasi komunitas homeschooling ini karena kami pun baru tahu jika ternyata ada ketentuan yang belum dapat diterima dan dinilai tidak adil,” kata Djemari. (ELN)

PENDIDIKAN INFORMAL II

Dana Pendidikan Dipotong Rp 41,8 Miliar
Selasa, 29 April 2008 Surabaya,
Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.Pembekuan bantuanSelama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep. (A10)

PENDIDIKAN KHUSUS II

Jalan Panjang Sekolah Autisme
Kamis, 8 Mei 2008

SLB Autis Fajar Nugraha di Seturan, Condong Catur, Depok, Sleman, terus didatangi orangtua dari anak penyandang autisme yang ingin menyekolahkan anak mereka.”Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak autis memang meningkat. Saat ini, tiap tiga hari sekali ada orangtua yang datang. Itu belum termasuk telepon tiap hari yang mencari informasi tentang sekolah autis,” tutur Kepala SLB Autis Fajar Nugraha Meiriawan, Rabu (30/4).Tercatat setidaknya delapan anak autis masuk daftar tunggu untuk bisa bersekolah di SLB autistik pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1997 itu. Pihak sekolah pun tidak bisa menjanjikan kapan anak-anak itu bisa mulai belajar. Pasalnya, jangka waktu kelulusan anak berbeda-beda, tergantung dari kemampuan masing-masing.Mereka bisa menyelesaikan pendidikan dalam satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan bertahun-tahun. Proses belajar tiap anak pun didampingi secara utuh oleh seorang guru. Ketika seorang anak lulus, guru pendamping baru bisa mengajar anak autis lain. Dengan 16 guru pendamping, saat ini SLB Autis Fajar Nugraha melayani 14 anak autis.Meiriawan mengungkapkan, selama bersekolah, anak-anak autis disiapkan untuk mampu mandiri. Kemampuan bina diri, kognitif, psikomotorik, bahasa, dan sosialisasi anak terus dikembangkan. Harapannya, setelah lulus dari SLB autistik mereka bisa meneruskan studi ke sekolah umum.Hanya saja, kemampuan tiap anak tidak bisa disamakan. Aldo (3), misalnya, diharapkan sudah bisa lulus dari SLB Autis Fajar Nugraha dalam dua tahun ke depan. Rabu siang itu, bersama rekan-rekannya yang lain, Aldo menyuapkan sendiri makan siangnya ke dalam mulut.Kholifatut Diniah, pengajar di SLB Autis Fajar Nugraha, mengutarakan, mendampingi anak autis memang merupakan tantangan yang membutuhkan kesabaran luar biasa. ”Meski terkadang anak autis seperti berada di dunianya sendiri dan mengacuhkan orang lain, mereka bisa merasakan dengan hati,” ujarnya.Tak terlupakanPenanganan autisme—gangguan perkembangan akibat adanya gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak sehingga anak tidak bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif—memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di SLB Autis Fajar Nugraha, orangtua harus membayar Rp 600.000 per bulan.Setelah tamat dari sekolah luar biasa autis dasar yang setara TK hingga SD, penyandang autisme dapat melanjutkan ke SLB Autis Lanjutan atau setara dengan jenjang SMP-SMA. Biayanya juga tidak murah. Di SLB Autis Lanjutan Fredofios Yogyakarta, biaya pendidikan mencapai Rp 750.000 per bulan.Selain mata pelajaran yang berlaku di sekolah formal, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sekolah ini juga memberikan pelajaran keterampilan seperti Seni Lukis, Seni Musik, Komputer, Seni Tari, Seni Kriya, dan Memasak. ”Murid didorong tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan akademis, namun yang terpenting dapat merangsang saraf motoriknya,” ucap Kepala SLB Autis Lanjutan Fredofios Abdu Somad.Untuk mempermudah murid autis menyerap materi pelajaran, metode pengajaran diberikan secara visual. ”Murid autis tidak bisa diberikan sesuatu yang abstrak, mereka akan bingung. Karenanya, 75 persen pelajaran yang diberikan kepada murid berupa praktik. Sisanya untuk pelajaran akademis,” ujar Somad.Seperti anak pada umumnya, lanjut Somad, anak autis juga memiliki potensi yang perlu digali. Pengajar akan memperbanyak porsi pada aktivitas yang diminati murid autis. Saat ini SLB autis lanjutan Fredofios memiliki delapan murid yang terdiri atas enam murid penderita autis dan dua murid tunagrahita. Usia mereka 14-22 tahun, dan dilayani oleh tujuh pengajar dengan spesialisasi materi-materi yang berbeda.Biaya tinggiTingginya biaya sekolah ini membuat tak semua orangtua menyekolahkan anak mereka di SLB autis. Orangtua yang punya kesadaran tinggi akan hak belajar anak akan menyekolahkan anak mereka di SLB umum. Proses pembelajaran pun dilakukan bersama dengan anak berkebutuhan khusus lainnya.Di SLB PGRI Trimulyo, Bantul, misalnya, anak-anak autis yang memiliki kecenderungan hiperaktif disatukan dengan anak tunagrahita. ”Anak-anak hiperaktif biasanya sulit berkonsentrasi dan asyik sendiri. Tak jarang mereka sering jatuh dan memukuli teman sendiri,” kata Sri Lestari, guru tunagrahita di SLB PGRI Trimulyo. Sri pun terpaksa mengikat anak-anak hiperaktif ke kursi supaya bisa berkonsentrasi.Namun, upaya itu tidak berhasil karena mereka tetap berlarian sambil membawa kursinya.”Terus terang pengetahuan saya soal anak autis memang masih minim, tetapi mereka tetap harus saya asuh,” katanya. Sri sudah sering menyarankan kepada para orangtua untuk membawa anak mereka ke sekolah autis di Yogyakarta. Namun, mereka biasanya menolak karena faktor jarak yang terlalu jauh dan kendala biaya.Pemerintah Provinsi DIY terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus.”Dari sisi kuantitas, jumlah SLB dan sekolah inklusi yang menangani anak berkebutuhan khusus cukup memadai. Namun, kami terus berupaya meningkatkan kualitasnya,” papar Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan Dasar Dinas Pendidikan DIY Nova Widiyarto.Tahun 2007 terdapat 60 SLB di seluruh DIY, enam di antaranya adalah SLB negeri. Selain itu, jumlah Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) terus bertambah menjadi 70 sekolah sejak dirintis pertama kali tahun 1997.Jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, baik di SLB maupun SPPI, sebanyak 3.682 orang. Dinas pendidikan terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Tahun 2006, sebanyak 2.040 anak berkebutuhan khusus belum bersekolah. (Agni Rahadyanti/A06/ENY)

PENDIDIKAN KHUSUS II

Sekolah Cenderung SeragamAnak Berbakat Khusus Diabaikan
Sabtu, 10 Januari 2009 Yogyakarta,
Kompas - Sistem pendidikan saat ini belum bisa mengakomodasi anak berbakat khusus atau gifted. Sekolah cenderung menyeragamkan kemampuan anak tanpa melihat potensinya. Padahal, tanpa penanganan yang tepat, potensi besar anak berbakat khusus akan terbengkalai dan kerap menimbulkan masalah.Anggota DPD GKR Hemas mengatakan anak berbakat khusus mempunyai kemampuan dan cara berpikir yang berbeda dari anak pada umumnya. Mereka juga mempunyai kebutuhan besar untuk berpikir dan berekspresi secara bebas.Sekolah yang ada saat ini cenderung tidak melihat keunikan tersebut. Sistem pendidikan juga belum bisa memenuhi kebutuhan anak berbakat khusus untuk berpikir secara bebas. Kelas akselerasi yang semula dimaksudkan untuk mewadahi anak berbakat khusus pun, pada kenyataannya hanya berisi pemadatan materi pelajaran.BerbedaOleh karena itu, tutur Hemas, diperlukan sebuah sekolah khusus untuk mengakomodasi mereka. "Pola pengasuhan dan pendidikan anak berbakat khusus tidak bisa disamakan. Tanpa kebebasan penuh untuk berpikir, mereka akan sulit menggali potensinya,"katanya dalam seminar regional "Merumuskan Media Belajar Bersama untuk Anak Berbakat Khusus (Gifted)" yang diselenggarakan Yayasan Anak Bangsa Mandiri di Aula Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (9/1). Anak berbakat khusus biasanya berintelegensia jauh di atas rata- rata. Beberapa di antara tokoh dunia yang termasuk dalam kategori tersebut, antara lain Albert Einstein dan Thomas Alva Eddison. Akibat cara berpikir yang berbeda tersebut, anak berbakat khusus kerap tampak berulah di sekolahnya. Selain itu, mereka juga kerap dianggap bodoh karena tidak memperlihatkan nilai akademis yang baik. "Pada banyak kasus, anak berbakat khusus ini paling kerap membolos dan melakukan tingkah yang dianggap sebagai kenakalan oleh gurunya," ujarnya.Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya mengatakan, anak berbakat khusus mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keunikannya. Hal ini mengingat hakikat pendidikan adalah mengembangkan potensi sesuai dengan bakatnya. Selama ini, pendidikan justru cenderung mengubah anak sesuai dengan citra yang diinginkan masyarakat, yaitu mempunyai nilai akademis tinggi, penurut, dan pendiam. "Hal ini jelas sulit diterapkan pada anak berbakat khusus karena akan mengubur bakatnya," ucapnya. (IRE)

PENDIDIKAN KHUSUS II

Sekolah-ku, Khusus Anak Penderita Kanker
Sabtu, 21 Februari 2009 JAKARTA,
SABTU - Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tak terkecuali untuk mereka yang mesti meninggalkan bangku sekolah karena harus berobat di rumah sakit. Karena itu demi melengkapi Rumah Kita, persinggahan anak penderita kanker yang sedang berobat, Sekolah-ku, sekolah khusus yang diselenggarakan di rumah sakit bagi anak-anak penderita kanker yang tengah berobat juga didirikan. "Yayasan Kanker Anak Indonesia ( YKAKI), bekerja sama dengan para dokter dan perawat dari RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais membuat sekolah, agar anak-anak yang sedang menjalani pengobatan tetap mempunyai kegiatan dan tidak tertinggal dalam pelajaran", jelas Aniza M. Santosa, bendahara YKAKI, di Jakarta Sabtu (20/2). YKAI bekerja sama dengan Home Schooling Kak Seto sebagai konsultan serta berbagai pihak antara lain PT Gramedia serta para donatur lainnya telah berhasil memfasilitasi tiga rumah sakit di Jakarta antara lain RSUP Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais dan RS Fatmawati. Tenaga-tenaga pengajar profesional telah direkrut secara tetap guna memfasilitasi program pendidikan di rumah sakit ini secara konsisten dan teratur."Sekolah-ku ini adalah wujud dari impian saya, bahwa walaupun anak sedang dalam pengobatan di rumah sakit, tetapi mereka tetap berhak untuk bermain dan belajar," kata Ira Soelistyo, salah satu pendiri sekaligus Sekretaris YKAKI, yang memiliki pengalaman putranya saat perawatan di luar negeri tetap bersekolah semasa tinggal di rumah sakit."Tenaga pengajar di sekolahku terdiri dari tujuh orang tutor, tiga orang tutor adalah sarjana psikologi dan empat orang adalah sarjana pendidikan," tutur Aniza. Dido, seoorang tutor di sekolah-ku menjelaskan anak-anak penderita kanker sedikit berbeda dengan anak-anak pada umum. Terkadang mereka sangat lemah ketika habis melakukan pengobatan. "Mood mereka juga kurang stabil karena pengaruh obat," jelas Dido. Dalam pengajaran, para tutor harus melakukan pendekatan ekstra, agar anak-anak tersebut bersedia belajar. Ketika anak menolak untuk belajar, para tutor akan menanyakan apa keinginan mereka. Jika sudah mogok belajar, biasanya anak-anak akan diminta untuk mewarnai atau bermain balok. Namun tak jarang para tutor membiarkan dulu sampai anak itu lebih tenang. "Kita diamkan dulu, sambil bilang kalau sudah tenang, kakak ada di ruang sebelah ya...," ucap Dido. Anak-anak tidak dipaksakan ingin belajar apa, mereka bebas memilih pelajaran dan tutor yang mereka sukai. Karena itu, seorang tutor menangani minimal dua orang anak."Yang satu kita kasih mewarnai dulu, lalu pindah ke pasien lain, terus dicek lagi yang sebelumnya, jadi ya bolak-balik aja," ungkap Dido. Pengajaran juga bisa berlangsung di bangsal-bangsal rawat inap. Pelajaran yang di Sekolah-ku, layaknya sekolah pada umumnya. Ada pelajaran bahasa, matematika dan sosial. Tutorlah yang memberikan bahan-bahan pelajaran mereka. Jika tidak sedang mengalami perawatan, sebagian anak bersekolah di sekolah umum. Namun menurut Aniza, karena ketebatasan ekonomi, banyak juga anak-anak yang putus sekolah. "Rata-rata yang ikut dalam sekolah-ku adalah anak dari keluarga yang kurang mampu, banyak juga yang putus sekolah. Kalau di sekolah-ku sama sekali tidak dipungut biaya," jelas Aniza. Saat ini sekolah-ku mempunyai murid sekitar 60 siswa, mulai dari kelas dua SD, sampai kelas enam. Dalam jangka panjang, Sekolah-ku bertujuan untuk memfasilitas anak-anak agar dapat mengikuti ujian akhir ataupun ujian sekolahnya meski masih dalam perawatan di rumah sakit dengan izin dari sekolah serta Departemen Pendidikan Nasional atau badan terkait."Pihak kami juga sedang mengupayakan anak-anak Sekolah-ku agar dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional," ujar Aniza. Sekolah kita terdapat di RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais. Jadwal di RSCM, setiap hari Senin dan Kamis, pukul 15.30, RS. Kanker Darmais hari Rabu dan Jumaat pukul 08.30 - 12.00. Di RS. Fatmawati hari Selasa dan Jumat pukul 15.00- 17.30.

PENDIDIKAN KHUSUS II

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus
KOMPAS/PEPIH NUGRAHA
Senin, 9 Februari 2009 Oleh Pepih Nugraha
Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.Orangtua mampuSetelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.Tujuh rekorAtas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

PENDIDIKAN MENENGAH II

Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.


Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan. Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008). Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan. Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada. Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan? Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008). Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal. Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll. Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta. Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula. Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang. Diposkan oleh Dewi Susanti

PENDIDIKAN KHUSUS II

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna
Selasa, 9 Desember 2008 JAKARTA,
SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

PENDIDIKAN TINGGI II

Perguruan Tinggi Perlu Kembangkan Pertukaran Program Internasional
Jumat, 23 Mei 2008 JAKARTA,
JUMAT - Perguruan tinggi Indonesia harus mulai mengembangkan pertukaran program internasional dengan perguruan tinggi dari negara-negara lain. Program ini untuk menyiapkan lulusan peguruan tinggi Indonesia siap bersaing masuk di pasar global."Kondisi sosial sudah berubah jauh dan perkembangan pengetahuan juga maju pesat. Indonesia harus siap dengan perubahan itu. Dalam bidang pendidikan, kerjasama internasional dengan lembaga pendidikan di belahan negara lain harus dilakukan dalam berbagai bentuk," kata Rektor Bina Nusantara University, Geraldus Pola, dalam seminar menyambut Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di Jakarta, Jumat (23/5).Menurut Geraldus, pengalaman untuk bisa masuk dalam dunia internasional itu idealnya sudah bisa dirasakan peserta didik saat di bangku kuliah. Perguruan tinggi berkolaborasi dalam riset, seminar, pertukaran pengajar dan pelajar, hingga penyelenggaraan dual degree program."Untuk bisa melaksanakan pertukaran program internasional harus ada banyak yang perlu dibenahi, terutama untuk memenuhi standar internasional. Keuntungan yang diperoleh banyak karena lulusan kita jadi mudah masuk ke pasar global, misalnya mudah untuk bekerja di negara lain secara kompetitif," kata Geraldus.Untuk internasionalisasi pendidikan ini perlu ada jaminan kualitas, networking, dan alokasi sumber daya yang memenuhi standar nasional. Tujuannya supaya perguruan tinggi di Indonesia bisa juga diakui kurikulumnya di dunia internasional. (ELN)

PENDIDIKAN TINGGI II

Perguruan Tinggi Ikut Awasi UN 2009
Senin, 12 Januari 2009 JAKARTA,
SENIN – Mulai tahun ini, tim pengawas Ujian Nasional (UN) akan ditambah dengan melibatkan perguruan tinggi dalam Pengawas Satuan Pendidikan. Mereka ditigaskan mengawasi pelaksanaan UN di SMA/ MA yang akan memantau, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri dan BSNP.Hal itu dikatakan Koordinator Ujian Nasional, Djemari Mardapi, dalam konferensi pers di Gedung Depdiknas, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Senin (12/1).“Kalau tim pemantau independen itu kan memang sudah ada untuk di SMP/Mts/ SMP luar Biasa dan SD, sedangkan tim pengawas untuk perguruan tinggi ya tim dari perguruan tinggi ini,” kata Djemari.Mardapi mengatakan dalam pelaksanaannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menempatkan mahasiswanya dalam penyelenggaraan UN. “BNSP akan menunjuk PTN berdasar rekomendasi Majelis Rektor PTN sebagai koordinator perguruan tinggi di provinsi tertentu,” katanya.Tugas mereka, menurut Djemari Mardapi, selain menjaga keamanan dan kerahasiaan penggandaan dan pendistribusian naskah, juga melakukan pemindaian (scanning) lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dengan menggunakan perangkat lunak yang ditetapkan BSNP.“Mereka ditempatkan di tiap satuan pendidikan minimal 1 orang. Kalau ada 10 kelas minimal ada 1 orang pengawas dari tim perguruan tinggi, tetapi tak boleh masuk ke dalam ruangan,” kata Djemari Mardapi.Dikatakan Ketua Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo, pengawas dari perguruan tinggi maupun tim pengawas independen atau siapapun termasuk pejabat yang meninjau tak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tes. “Ini demi menjaga konsentrasi siswa, karena waktu mengerjakan siswa dapat berkurang bila perhatian teralihkan,” katanya.Pengawas dari perguruan tinggi dan tim independen boleh masuk bila ditengarai ada tindak kecurangan yang terjadi. “Pengawas dalam ruangan untuk SD, SMP dan SMU tetap 2 orang guru yang telah ditentukan dari sistem silang dari sekolah yang berbeda,” jelasnya.

PENDIDIKAN MENENGAH II

Profil Pemuda Berprestasi 2008
02 November 2008

Adam Badra Cahaya Prestasi Untuk Bangsa
Perolehan dua medali emas sepanjang tahun 2008 yang diraihnya dari Asian Physics Olimpiad (APhO) ke-9 di Ulaanbaatar dan International Physics Olympiad (IPhO) di Hanoi, Vietnam, tidak membuatnya puas begitu saja. Anas masih ingin terus menyumbangkan baktinya bagi negara dan bangsa yang dicintainya. "Saya jadi ingat kalimat Presiden John F Kennedy, berikan apa yang ada padamu untuk bangsamu, bukan bangsamu yang memberikan buatmu. Ini mungkin yang harus direnungkan oleh pemuda Indonesia saat ini," kata Siswa SMAN 1 Jember ini yang ingin melanjutkan studinya di Nanyang University Singapura. Putra pasangan Parwoto dan Sulistiyani ini mengaku suka fisika sejak duduk di kelas II SMA. Alasannya, karena fisika lebih menantang.


Andreas Dwi Maryanto GunawanTarget Perunggu, Dapat Perak
Siswa SMAK Kolese Santo Yusup Malang ini, berhasil merebut medali perak dalam International Mathematica Olympiad (IMO) 2008 yang diselenggarakan di negara Matador, Spanyol. “Sebenarnya saya hanya target HM atau perunggu saja. Tapi ternyata bisa dapat perak,” ungkap Andreas bangga. Awal kegilaan Andreas pada matematika dipengaruhi aktivitasnya sehari-hari yang selalu meluangkan waktu untuk mengutak-utik materi soal matematika. Kesukaannya adalah bermain-main dengan rumus. Saking cintanya pada matematika, Andreas selalu langganan mendapat nilai 10 sejak SD hingga duduk di bangku SMA.


Kelvin AnggaraSang Pemecah Telur
Kelvin dinobatkan sebagai ‘pemecah telur’ dalam olimpiade bidang kimia. Siswa asal SMAS Sutomo 1 Medan ini adalah siswa pertama yang berhasil meraih emas dalam ajang International Chemistry Olympiad (IChO) 2008 di Budapest, Hungaria, selama 11 tahun keikutsertaan Indonesia dalam IChO. “Wah, rasanya senang banget bisa mengharumkan Indonesia di level Internasional, apalagi ini emas pertama.” Ujar Kevin. Kelvin yang kini tengah menyelesaikan studinya di NUS (Nanyang University of Singapura), sangat bercita-cita menjadi scientist dan peraih Nobel Kimia.


Irvan JahjaJagoan Informatika
Peraih medali emas dalam ajang Asian Pasific Informatisc Olympiad (APIO) dan International Olympiad in Informarics (IOI) 2008 ini memang jagonya di bidang informatika. Kegemarann belajar programming sudah dilakoninya sejak duduk di bangku SMP. Maka tak heran, jika Siswa SMAS St. Aloysius Bandung ini bisa mencapai prestasi itu. Rajin berlatih soal dan banyak membaca buku menjadi kunci utama kesuksesannya.


Lorenz Da SilvaEmas Istimewa
Pemilik nama lengkap Lorenz Van Gugelberg Da Silva kembali meraih emas dalam kompetisi IOAA (International Olympiad on Astronomy and Astrophysics) 2008 di Bandung, Indonesia. Medali yang sama juga diraih Lorenz pada IOAA 2007 di Chiang Mai, Thailand . "Ini adalah emas istimewa buat saya, karena kesempatan terakhir bisa berkompetisi dalam olimpiade sains," kata lulusan SMAS Semestas Semarang itu. Pemuda asal NTT kelahiran Sukoharjo ini, tengah konsentrasi menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB). "Meski masuk jurusan elektro, tapi saya tetap akan menekuni astronomi, karena salah satu ilmu yang saya senangi," kata Lorenz lagi.


Anugerah ErlautTarget Emas
Siswa SMAS Kharisma Bangsa Tangerang ini berhasil meraih perak dalam International Biology Olympiad (IBO) ke-19 yang berlangsung di Mumbai, India. Cowok kelahiran 6 September 1991 ini mengaku belum puas dengan medali yang diperolehnya, karena itu pada IBO 2009 nanti Ia memasang target untuk dapat emas. Agi, begitu Ia akrab disapa dengan teman-temannya, kini tengah mempersiapkan diri dengan mengikuti proses pembinaan IBO 2009 yang diadakan di Kota Bandung, Jawa Barat. (rinda)