Jumat, 06 Maret 2009

Pendidikan Dasar


SD Islam Terpadu Baitul 'Izzah

Kehadiran program MBE yang belum lama di Kabupaten Nganjuk mampu menjadikan lembaga SDIT Baitul 'Izzah memperoleh penguatan pada sistem pendidikan yang telah kami terapkan dan peningkatan kualitas dari program-program yang telah ada, antara lain :
Sejak awal berdiri keberadaan kami didukung penuh oleh PSM baik wali murid maupun masyarakat luas. Program MBE menstimulasi lembaga untuk memperluas jaringan dengan dunia usaha atau lembaga lain.
Sejak berdiri telah terbentuk IOM (Ikatan Orangtua Murid = Komite Sekolah) yang mencakup seluruh kelas, saat ini lebih optimal lagi dengan terbentuknya Sub Komite Kelas (Paguyuban Kelas) dengan programnya masing-masing.
Transparansi dan akuntabilitas dalam keuangan sekolah sangat mendu-kung sistem manajemen kami yang bercirikan pada "IMAN ' AMANAH ' AMAN" di dunia dan akhirat.
Pelatihan PAKEM yang terprogram, meningkatkan ketrampilan guru dalam mengajar, menambah wawasan dan mengembangkan kreativitas guru.
Kepedulian wali murid meningkat dengan program kunjungan kelas. Pada pelatihan PAKEM II tgl 6-7 April 2006 ini kegiatan guru mengajar digantikan oleh wali murid, sehingga pembelajaran tetap berjalan lancar.

Senin, 02 Maret 2009

Pendidikan Menengah

Program Keahlian yang Dikembangkan di SMK


Beberapa kelompok bidang atau program keahlian baru yang dikembangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sudah ada dan unit pelaksana teknis (UPT). Berdasarkan urutan terbanyak, meliputi:


Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Teknologi Industri, khususnya program analisis kimai, geologi, pertambangan, teknik bangunan, teknik otomotif, pemesinan kapal, dan teknologi kapal niaga.
Perikanan dan Kelautan, khususnya nautika, perikanan laut, aqua cultur, dan tekologi hasil perikanan.
Pertanian, khususnya untuk program budi daya kelapa sawit.
Pariwisata, khususnya untuk program akomodasi perhotelan, tata busana, dan tata kecantikan.
Kelompok Program Bisnis dan Manajemen, diprioritaskan untuk program penjualan, akutansi perbankan, dan kewirausahaan.


Bidang keahlian untuk program SMK PPKT dan commuity college:

Kelompok Teknologi Industri meliputi teknik las, teknik komputer, otomotif, disain grafis periklanan, dan teknik konstruksi kayu.
Kelompok Teknologi Komunikasi dan Informasi meliputi, teknologi informatika, teknik informatika komputer, dan teknik audio video.
kelompok Pariwisata meliputi tata busana, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, akomodasi perhotelan, usaha jasa pariwisata, dan tata boga.
Kelompok Pertanian meliputi, pembenihan udang windu dan budi daya tanaman.
Kelompok Bisnis dan Manajemen meliputi, akuntansi perpajakan, akuntansi jasa, akuntansi keuangan, dan marketing.
Kelompok Seni dan Kerajinan meliputi kria tekstil.

Pendidikan Menengah

Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua


Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA’. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja. Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja – menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini”. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).

Pendidikan Menengah

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan


Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).
Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.
Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.
Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.
“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).
Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.
Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.
Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.
Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

Pendidikan Formal

FasilitasPelatihan 250 Guru di Labuhan Batu Utara



Sistem pendidikan formal di Indonesia sedang mengalami proses transformasi yang cukup besar. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menuntut adanya peningkatan kualitas dan menetapkan bahwa Standar Nasional Pendidikan (PP 19 Tahun 2005) harus dikembangkan dan disusun untuk bidang-bidang sebagai berikut: Muatan Pendidikan, Sarana dan Prasarana, Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standard Lulusan Bidang Pendidikan, Proses Pendidikan, Pengelolaan, Pembiayaan Pendidikan, Evaluasi Sekolah dan Unit Pendidikan Lainnya.
Sejak tahun 2003 Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk mengembangkan standar ini khususnya mengenai guru. PP 19 /2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Mendiknas No 16/2007 tentang Standar Kompetensi Guru, dan Peraturan Mendiknas No 18/2007 tentang Sertifikasi Guru memerinci kualifikasi dan kompetensi minimum yang harus dimiliki oleh guru dan proses penilaiannya. Menteri Pendidikan Nasional dan khususnya Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi sekarang mendapat tugas yang sangat besar untuk menjamin bahwa 3,000,000 guru yang sudah bekerja dan semua guru baru agar memenuhi standar ini. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah di negara yang besar dan beragam seperti Indonesia.
Sejalan dengan Permendiknas No.18/2007 tentang Sertifikasi Guru tersebut, hampir semua guru di Indonesia sangat disibukkan dengan aktivitas untuk mencapai ketentuan peraturan tersebut. Tidak sedikit guru stress untuk mengikuti uji sertifikasi guru tersebut, baik yang melalui portofolio maupun yang mengikutinya melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Tim Assesor. Namun kesibukan para guru untuk bisa lulus sertifikasi juga akan dibarengi dengan janji pemerintah untuk menaikkan taraf kesejahteraan guru. Semoga ini dapat diwujudkan dengan cepat, mengingat kondisi kesejahteraan guru sekarang ini kurang menggembirakan. Ini merupakan peluang dan kesempatan guru untuk maju, dan ini seka
ligus juga tantangan bagi guru untuk meningkatkan profesionalismenya.
Dari latar tantangan peningkatan kualitas pendidikan tersebut di atas, Formal hendak hadir bukan untuk “mencerca” kondisi pendidikan yang ada saat ini terutama kondisi pendidikan di Labuhan Batu. Sebagaimana semangat Formal hadir untuk berbuat bagi masyarakat Labuhan Batu, dan sekaligus berperan aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan di Labuhan Batu, pada tangal 1-2 November 2008 Formal bekerjasama dengan MKKS gugus III Kualuh Hulu & Kualuh Selatan dan Pusat Kajian dan Pengembangan Madrasah (PKPM) Sumut telah menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru yang diselenggarakan di Perguruan Kualuh, Aek kanopan. Sebanyak 250 guru dari 20 sekolah tingkat menengah pertama hadir dalam pelatihan ini. Menurut Suhari Pane selaku Ketua umum Formal dalam sambutan pembukaan pelatihan mengatakan, “Guru merupakan ujung tombak pendidikan di Indonesia –dan khususnya di Labuhan Batu. Majunya pendidikan sangat tergantung pada SDM guru. Oleh karena itu Formal sangat peduli terhadap peningkatan kualitas guru di Labuhan Batu. Pelatihan ini merupakan wujud dari Formal untuk membantu guru mencapai standart profesional”.
Pelatihan ini sengaja fokus pada materi Bagaimana Menjadi Guru yang Profesional dan Tentang KTSP. Materi ini memang sangat dibutuhkan oleh guru –terutama di era sertifikasi guru sekarang ini. Menurut Agus Marwan, selaku koordinator Tim pelatih dari Medan (sekaligus Direktur PKPM Sumut dan juga Ketua Majelis Formal), “Inilah materi-materi pelatihan yang sangat dibutuhkan oleh guru saat ini. Kami mempunyai missi agar guru-guru sekarang harus berubah seiring dengan perkembangan kebijakan pendidikan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini. Sudah tidak zamannya lagi guru mengajar dengan metode ceramah saja (metode konvensional), saat ini guru harus menerapkan pembelajaran aktif dengan pendekatan Contextual Teaching Learning), atau dengan istilah lain Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan
dan Inovatif (PAKEMI)”. Lanjut Agus Marwan, “ karena peserta pelatihannya sangat banyak, maka kami membawa 10 orang pelatih dari Sumut yang mumpuni sebagai fasilitator pelatihan. Kita bagi peserta pelatihan menjadi 6 kelas per-mata pelajaran, dan maksimal perkelas sebanyak 40 orang. Karena jika lebih dari jumlah tersebut pelatihan menjadi kurang efektif. Dalam pelatihan guru ini, kami juga menggunakan metode pelatihan yang PAKEMI dengan pendekatan berpusat kepada peserta, sehingga semua peserta aktif dalam pelatihan ini. Agar pelatihan ini memiliki hasil yang nyata bagi guru-guru, dalam kerja kelompok guru Tim Pelatih memfasilitasi guru untuk membuat RPP sesuai dengan standart nasional pendidikan. Dan setelah RPP jadi, Tim kelompok guru melakukan micro teaching dari apa yang telah disusun dalam RPP.”
Menurut Bu Nuraini dan Pak Suharto dalam sambutan kesan selama mengikuti pelatihan, mereka sangat antusias, dan baru kali ini mengikuti pelatihan model pelatihan aktif seperti ini. Bagi kami ini sangat relevasn dengan kebutuhan kami, terutama untuk membantu kami dalam sertifikasi guru. Selama ini kami dalam setiap kegiatan pelatihan selalu menggunakan
metode ceramah, sehingga belum jam selesai para peserta pelatihan sudah pada bosan dan berpulangan. Alhamdulilah selama 2 hari pelatihan dari pagi hingga sore, semua peserta tetap hadir dan aktif, bahkan selalu tampak ceria. Kami berharap, lanjut mereka “ agar pelatihan ini tidak berakhir sampai disini saja, dan mohon Formal bisa memfasilitasi pelatihan-pelatihan berikutnya, Kami berjanji untuk memulai menerapkan apa yang kami dapatkan di pelatihan ini untuk kami terapkan di sekolah, sehingga pembelajaran di kelas lebih aktif, relevan, menyenangkan sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Dan sekali lagi kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Formal dan Tim Pelatih dari PKPM Sumut yang telah melatih kami sehingga kami mendapatkan akses pemahaman dan ketrampilan pembelajaran yang sangat luar biasa ini.”
Dari antusiasnya guru dalam mengikuti pelatihan ini, Formal akan terus berupaya untuk membantu guru-guru di Labuhan Batu dalam mendapatkan akses informasi, pemahaman dan ketrampilan. Akhir kata, Selamat berjuang guru-guru Labuhan Batu !!. Jasa-jasamu tiada tara, dan kami Formal akan tetap terus membantu dan mendukungmu. (Agus Marwan)

Pendidikan Formal

Kerja, Tak Cukup Pendidikan Formal


SAMARINDA - Sebagai instansi teknis yang mempunyai tugas dan fungsi pengembangan SDM dan perlindungan tenaga kerja, Disnaker tahun ini mengagendakan pembinaan hubungan industri dan pembentukan Dewan Pengupahan Daerah serta sosialisasi pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Kegiatan lain yang juga diprioritaskan adalah sosialisasi Keppres Nomor 40 Tahun 1980 tentang kewajiban tiap badan usaha melapor ke Disnaker sepanjang kegiatannya berkaitan dengan menggunakan pekerja. "Untuk menyiapkan SDM tidak cukup dengan dibekali pendidikan formal. Selain ilmu umum, pencari kerja harus dibekali keterampilan, pengetahuan tentang kesehatan dan pembinaan keagamaan. Tapi semua itu tentu membutuhkan dana yang memadai," kata Kepala Disnaker Sudirman Nasution.
Dirman menyebut 3 atau 4 tahun ke depan tidak tertutup kemungkinan SDM Samarinda akan kalah bersaing dengan SDM pendatang dari luar daerah bila faktor-faktor pendukung tersebut tidak diperhatikan. Oleh karena itu meski dana terbatas namun Disnaker tetap berupaya sekuat tenaga untuk melakukan pembinaan agar masyarakat memperoleh hak mendapatkan pekerjaan.
Upaya yang dimaksud Dirman meliputi kerjasama dengan pihak perusahaan dan badan usaha lain yang secara berkala membutuhkan tenaga kerja. Disamping itu juga dengan cara terjun langsung ke perusahaan sehingga diketahui sektor mana saja yang memerlukan tenaga kerja untuk selanjutnya disesuaikan dengan pengalaman dan keterampilan pencari kerja. "Selain itu, dengan terjun langsung ke lapangan kita jadi tahu kelayakan kondisi tempat kerja di perusahaan-perusahaan," jelas Dirman.
Berbicara tentang jumlah pencari kerja, Dirman mengakui perkembangan yang signifikan. Buktinya, jika tahun 2004 tercatat "hanya" 15 ribu pencari kerja yang terdata di Disnaker, tahun 2005 melesat ke angka 27 ribu orang.
Khusus menyangkut sosialisasi Keppres Nomor 40 di atas, Dirman mengungkap sejauh ini masih banyak ditemukan perusahaan yang belum memahaminya. Dan itulah kenapa tidak jarang dijumpai persoalan berkaitan dengan belum dipatuhinya standar upah, penggunaan jam kerja atau pembagian tugas kerja.

Pendidikan Formal

Sertifikasi Keahlian dan Pendidikan Formal

Kata profesionalisme dan profesional berasal dari kata profesi yang biasa diartikan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan yang memerlukan keahlian. Seorang yang profesional berarti memiliki keahlian dalam mengerjakan sesuatu. Bekerja yang produktif, efisien dan memuaskan pelanggan adalah tuntutan dunia usaha pada masa kini. Hampir semua iklan lowongan pekerjaan selalu mensyaratkan tenaga sudah berpengalaman setelah pendidikan. Tuntutan itu memang wajar, walaupun sering dinilai tidak fair, karena berarti menafikan para alumni baru pencari kesempatan kerja. Tetapi sebenarnya perusahaan hanya menginginkan seseorang yang dapat bekerja secara profesional, dan untuk itu diminta tenaga yang sudah berpengalaman.

Standar keahlianBagaimana seseorang dapat menjadi profesional atau ahli, dan apa yang menjadi ukuran, itulah persoalan dalam ketenagakerjaan. Contoh, jikalau kita mencari seorang tukang batu. Tukang batu yang benar-benar ahli tidak akan segera didapat, dan biasanya diperoleh dengan mencari-cari informasi dari pengguna tenaga tukang itu sebelumnya. Meskipun kebenaran informasi itu sesungguhnya masih perlu dipertanyakan atau dibuktikan.Keahlian selain dapat diperoleh melalui pendidikan formal, di sekolah kejuruan, dan non-formal di balai pelatihan kerja atau lembaga penyelenggara kursus, bahkan di tempat kerja pada suatu perusahaan. Kendala yang dihadapi adalah selain sekolah kejuruan jumlahnya terbatas, kualitas keahlian masih belum dibakukan atau belum standar. Dengan kata lain belum adanya standar keahlian yang diakui dan dipercaya oleh dunia usaha.
Upaya standarisasi dengan penerbitan sertifikat keahlian merupakan langkah yang baik, sehingga dunia usaha lebih mudah dalam perekrutan tenaga baru serta pensyaratan pengalaman bagi calon pegawai bukan lagi suatu keharusan. Kecuali itu masyarakat konsumen akan mendapat perlindungan dan kemudahan. Penyertifikatan tenaga ahli memang sudah mulai dirintis beberapa tahun yang lalu. Permasalahannya siapa yang berwenang dan diakui sebagai penerbit sertifikat. Apakah lembaga pendidikan, penyelenggara pelatihan/kursus, asosiasi profesi atau instansi pemerintah?Di negara maju sertifikasi keahlian dilakukan oleh organisasi atau asosiasi profesi. Karena asosiasi itu yang selalu akan memantau dan membina anggotanya. Tentu saja tidak sembarangan, harus merupakan asosiasi atau lembaga yang handal dan kredibel. Biasanya asosiasi memiliki kriteria-kriteria tertentu untuk memberikan sertifikat bagi para anggotanya. Asosiasi profesi bahkan berkewajiban meningkatkan keahlian anggotanya dan memiliki standar moral atau kode etik (Martin & Schinzinger, 1994 clan Andi Kirana, 1996). Walaupun pada akhirnya masyarakatlah yang akan menilai mutu pemegang dan penerbit sertifikat tersebut.Seiring kebijakan pemerintah, akhir-akhir ini muncul banyak asosiasi profesi baru dan saling berlomba untuk menerbitkan sertifikat keahlian. Karena dewasa ini proyek besar dan khususnya proyek pemerintah mensyaratkan kepemilikan sertifikat bagi tenaga kerjanya. Membanjirnya permintaan sertifikat menjadi tugas berat dan tantangan bagi asosiasi profesi dan lembaga terkait.Membludaknya permintaan sertifikat dan banyaknya asosiasi baru yang masih diragukan kredibilitasnya, sehingga sering terkesan pemberian sertifikat hanya sekadar pemberian label saja. Pemberian sertifikat keahlian tanpa kriteria yang benar, atau sekadar "labelisasi", akan berdampak merugikan. Disamping itu timbul kekhawatiran kegiatan sertifikasi akan menjadi ajang baru manipulasi, untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi sekelompok orang atau asosiasi. Menjadi peluang munculnya tikus-tikus manipulator/koruptor baru, yang tentu tidak diinginkan. Kesemuanya itu merupakan pekerjaan rumah yang masih perlu digarap oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dalam rangka pembenahan dan pembinaannya.

Pendidikan Formal

Banyak Anak Usia Dini Belum Mendapat Pendidikan Formal



Yogyakarta ( Berita ) : Masih banyak anak usia dini di bawah enam tahun di Kota Yogyakarta yang belum mendapat pendidikan formal seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak (TK), Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) serta pendidikan yang benar dari orang tua.
“Untuk menampung mereka Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta membangun pos-pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di setiap kecamatan,” kata Walikota Yogyakarta Herry Zudianto ketika meresmikan 622 pos PAUD di 14 kecamatan yang dipusatkan di Taman Pintar Yogyakarta, Sabtu.
Peresmian sekaligus peluncuran pos PAUD yang juga dikaitkan dengan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 itu diselenggarakan secara bersama oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan Tim Penggerak PKK setempat.
Menurut Herry Zudianto, dengan diresmikannya 622 pos PAUD ini diharapkan semua anak usia dini di daerah ini dapat menikmati pendidikan formal, seperti belajar bersosialisasi dengan teman dan lingkungannya serta mengenal pengetahuan yang ada di sekitarnya.
“Tujuannya agar anak-anak usia dini tersebut dapat lebih kreatif dan menjadi generasi yang lebih berkualitas,” katanya.
Sementara itu, Ketua Panitia Hari Anak Nasional Tingkat Kota Yogyakarta, Suparno mengatakan, saat ini di Yogyakarta terdapat 15.249 anak usia dini yang belum tertampung di kelompok-kelompok bermain, TK dan TPA.
“Karena itu kehadiran pos PAUD di kecamatan terutama di tingkat RW sangat diperlukan untuk menampung anak-anak tersebut serta membantu pertumbuhan dan kecerdasan anak,” katanya. (ant)

Pendidikan Formal

Home Schooling lebih Mahal Dari Sekolah Formal
Kekhawatiran pertama tentang keinginan saya memilih program homeschooling buat anak saya, tentu saja masalah harga. Opini yang beredar di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, adalah tentang mahalnya harga sebuah homeschooling. Kekhawatiran saya mulai agak mereda ketika ada kesaksian dari para orang tua homeschooling yang menyatakan bahwa sebenarnya homeschooling terjangkau.Mahalnya homeschooling itu sebenarnya bisa disiasati. Dengan catatan, ada peran serta aktif dari orang tua sebagai pendidik secara langsung. Secara saya pernah dapet pengalaman ngajar selama beberapa tahun terakhir di sebuah sanggar bina bakat talenta (saya kebagian bidang broadcasting radio) sewaktu saya di Jogja dulu. Dan juga terlibat dalam beberapa kegiatan psikologi anak.Saya pikir kenapa enggak saya menjadi guru bagi anak saya sendiri, karena sudah ada panduan materi yang tersedia. Tentunya, saya tidak pengen takabur, dalam artian, saya akan tetap melihat sejauh mana kemampuan saya, ketika saya membutuhkan pihak yang lebih ahli, Insya Allah jika ada rejeki berlebih, tidak sungkan-sungkan saya akan meminta bantuan yang lebih profesional & berpengalaman.Plus ditambah dengan ketersediaan informasi dan bahan ajar yang ada di internet mulai dari yang gratis (tentu untuk pemula) dan berbayar. Sekolah formal pun berbayar bukan?? Bahkan butuh biaya transportasi, uang gedung, beli seragam, dan keperluan 'printil' lainya yang juga harus dikeluarkan. Dan ujung-ujungnya, mahal juga.Sekali lagi, ini baru sebuah wacana untuk semakin meyakinkan diri saya sendiri tentang fenomena pendidikan baru di Indonesia, yaitu homeschooling. Homeschooling itu mahal lah, dinilai terlalu tinggi biayanya untuk ukuran orang Indonesia lah, ato pesimisme-pesimisme lainnya tetap menjadi bahan pertimbangan saya. Banyak sekali yang mesti saya pelajari sebelum saya nanti akhirnya memutuskan bahwa homeshooling (yang katanya 'mahal') itu adalah satu solusi pendidikan terbaik buat Ical, buah hati tercinta.

Minggu, 01 Maret 2009

Pendidikan


PENDIDIKAN BERDASARKAN STANDAR
Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah dari waktu-waktu yang disesuiakan dengan konteks kepentingan pada waktu tersebut. Selama ini usaha peningkatan mutu masih fokus pada input dan proses, misalnya pada awal kemerdekaaan pendidikan difokuskan pada pembinaan karakter bangsa (nasionalisme); pada tahun 1970-an hingga tahun 1990-an pendidikan difokuskan pada pemerataan pendidikan dengan diperbanyaknya akses pendidkan bagi anak-anak diseluruh pelosok tanah air, dan mulai era reformasi-pendidikan difokuskan pada peningkatan mutu lulusan. Usaha pemerintah saat ini adalah melakukan reformasi pendidikan berdasarkan standar dengan dibentuknya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dengan reformasi ini fokus peningkatan mutu tidak saja pada input dan proses tapi juga mutu lulusannya (atau output). Produk undang-undang yang mendukung kebijakan ini adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Pendidikan berdasarkan standar ini mendasarkan pada kurikulum, pengajaran, dan penilaian belajar peserta didik pada standar nasional (dengan harapan pada saatnya nanti standar dunia). Di masa lalu harapan terhadap pencapaian hasil pada peserta didik yang berasal dari keluarga miskin dan pedalaman terkadang lebih rendah dibandingkan peserta didik yang berasal dari kalangan lain. Hal ini ditunjang oleh kondisi demografis Indonesia yang sangat luas dan beragam. Sehingga kesenjangan pendidikan pun sangat terasa. Saat ini pendidikan berdasarkan standar dilihat sebagai jalan tengah untuk pemenuhan persamaan hak bagi setiap peserta didik untuk menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam dokumen pembentukan BSNP disebutkan misinya adalah mengembangkan, memantau pelaksanaan dan mengevaluasi pelaksanaan standar nasional pendidikan. Lebih detil BSNP bertugas membantu Menteri Pendidikan Nasional, dengan kewenangan (a) megembangkan Standar Nasional Pendidikan; (b) menyelenggarakan Ujian Nasional; (c) memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemda dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan; (d) merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah; dan (e) menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran. Ada dua standar yang menurut saya pribadi sangat mendasar peranannya dalam usaha peningkatan mutu pendidikan.Standar IsiMerujuk pada namanya maka standari isi berisi berbagai pengetahuan dan keahlian (atau kompetensi) peserta didik yang seharusnya dapat kuasai dalam berbagai mata pelajaran. Atau dengan kalimat sederhana adalah “apa yang seharusnya peserta didik tahu dan mampu lakukan”. Standar isi dibagi kedalam berbagai tolak ukur yang biasa dikenal sebagai indikator, yaitu hal-hal spesifik tentang apa yang seharusnya dimengerti dan dilakukan oleh peserta didik pada berbagai tingkat kelas dan perkembangan tertentu. Dan dalam penyusunannya mengacu pada standar kompetensi tertentu yang diharapkan dicapai oleh peserta didik. Misalnya diakhir kelas I semester 1 SD untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan peserta didik mencapai penguasaan salah satu standar kompetensi “mendengarkan: memahami bunyi bahasa, perintah, dan dongeng yang dilisankan.”Standar Kompetensi LulusanStandari ini lebih dikenal dengan singkatan SKL berisi kualifikasi kemampuan lulusan yang meliputi aspek sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Dengan meningkatkan standar yang merefleksikan pengetahuan kemampuan dan perilaku peserta didik seharusnya kembangkan di berbagai mata pelajaran. Sehingga peran dari para ahli dibidang pendidikan dan asosiasi profesional mempunyai ekpektasi kompetensi yang lebih spesifik berdasarkan tingkat kelas, dibuat tingkat pencapaian dan tingkat penguasaan sebagai standar yang direkomendasikan dan juga segala kegiatan kelas yang berkaitan dengan standar.Kelebihan dari kedua standar tersebut buat para pendidik, orang tua, dan masyarakat yang berkepentingan adalah (1) sebagai pedoman dalam mengembangkan kurikulum dan penilaian peserta didik bagi sekolah-sekolah; (2) untuk mengembangkan sasaran dan tujuan unit-unit pembelajaran, melakukan evaluasi pengajaran dan mengembangkan ide-ide untuk kegiatan instruksional dan penilaain kelas bagi pendidik (guru-guru); dan (3) dapat digunakan sebagai standar untuk menilai kualitas pendidikan di sekolah tempat anak mereka belajar dan memantau tingkat pencapaian anak-anak mereka bagi orang tua dan masyarakat.Akses terhadap PendidikanIsu ini masih menjadi tema penting dalam pendidikan nasional karena luasnya wilayah demografis Indonesia dan beragamnya kondisi lingkungan setempat. Bagaimana daerah-daerah remote area mempunyai akses terhadap pendidikan nasional sehingga pemerataan yang diharapkan mendekati kenyataan dan potensi menimbulkan masalah.Kontroversi Pendidikan Berbasis StandarKontroversi tidak bisa dihindarkan dalam implementasi kebijakan pendidikan berdasarkan standar ini. Suatu pro dan kontra dengan argumen masing-masing sama kuat..pembahasan lebih lanjut akan di tuangkan dalam tulisan yang terpisah..Apakah pendapat anda sendiri dengan reformasi pendidikan berdasarkan standar ini?
Diposkan oleh Human Metrics di 21:23
Label:

Pendidikan Menengah

Selasa, 14 Oktober 2008 16:50 WIB Seluruh Sekolah Menengah di Jakarta Tersambung Internet 2009 JAKARTA--MI: Pemprov DKI menargetkan seluruh sekolah menengah di Jakarta tersambung internet pada 2009. Target kami pada 2009 adalah semua sekolah tersambung dengan teknologi informasi dan komunikasi dan semua guru bisa membuat bahan ajar multimedia, papar Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Margani Mustar seusai Pencanangan Komunitas Pendidikan Menegah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Provinsi Jakarta di Balaikota, Selasa. Saat ini seluruh SMA/SMK negeri sudah tersambung dengan internet sedangkan sekolah swasta baru 70 persen. Untuk sementara, kami akan menumbuhkan kultur multimedia terlebih dahulu, kata Margani. Dengan menggandeng berbagai pihak, Dinas Dikmenti mengembangkan sistem TIK yang terintegrasi yang bisa dimanfaatkan siswa dalam proses belajar di sekolah. Pengadaan fasilitas fisik juga menjadi prioritas Dinas Dikmenti di mana kini jumlah komputer yang disalurkan ke sekolah sebanyak lebih dari 10 ribu unit, lebih dari 7 ribu guru telah memiliki laptop serta lebih dari 100 sekolah telah memiliki layanan hot spot. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyebut pencanangan program tersebut penting karena TIK merupakan bagian dari tuntutan perkembangan di masyarakat. Ini adalah bagian dari tuntutan masyarakat, jadi ini hal positif yang mencerminkan keinginan masyarakat akan kemudahan teknologi, katanya. Untuk Jakarta, Fauzi menyebut bahwa ketersediaan fasilitas TIK bukan menjadi suatu masalah apalagi setelah DKI mengembangkan sistem jaringan fiber optic. Dengan adanya fiber optic tadi yang akan dibangun dimana-mana maka perpustakaan bisa terkoneksi ke sekolah, kata Gubernur memberi contoh. Tujuan jangka panjang dari sistem jaringan itu disebutnya adalah untuk menjadikan sekolah sebagai sumber informasi yang lengkap bagi murid maupun guru.

Pendidikan dasar

Toshiko Kinosita (Kompas, 24 Mei 2002) mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari masyarakat awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang (Nurkolis, 2004).Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik (Nurkolis, 2004). Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup, inilah sebenarnya arah Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu pendidikan berbasis keterampilan (life skill) dan perluasan fungsi dasar pendidikan (broad based education). Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dolar Amerika, master 40 juta dolar Amerika, dan sarjana 33 juta dolar Amerika. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpenghasilan rata-rata 19 juta dolar Amerika per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas Rp 3,5 juta, akademi Rp 3 juta, SLTA Rp 1,9 juta , dan SD hanya Rp 1,1 juta.Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (McMahon dan Geske, 1982 : 121).Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi daripada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkandengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi, 1999 : 247).Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia sumbangan sosial pendidikan dasar terhadap masa depan anak didik rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekitar Rp 18.000 per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar Rp 66.000 per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro (Nurkolis, 2004) mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal daripada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.Itulah sebabnya Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Pendidikan dasar seharusnya "benar-benar" dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan "benar-benar" karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Cheng, 1996 : 7).Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya, dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.Penyelenggaraan pendidikan nasional selama ini, yang disorot mengalami kemunduran, sebenarnya telah mengalami banyak perubahan. Di antaranya keinginan untuk mengajukan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai pengganti Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 pada tahun 2004. Kurikulum itu mengacu pada kemampuan setiap peserta didik supaya benar-benar dapat diuji setelah menuntaskan pendidikannya di tingkat tertentu (Kompas, April 2004).Perubahan kurikulum pendidikan untuk penyempurnaan mutu pendidikan, merupakan topik yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan. Keberhasilan penyelenggaraan kurikulum tentu tidak terlepas dari tanggung jawab sumber daya manusia di bidang pendidikan serta tidak kalah pentingnya dukungan dari masyarakat sendiri (Jurnal Pendidikan Penabur No. 01/ I / Maret 2002).Penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan peningkatan mutu peserta didik telah diamanatkan dalam kebijakan-kebijakan nasional sebagai berikut (Departemen Pendidikan Nasional, 2003):1. Perubahan keempat UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan.2. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004.3. Undang-undang No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.4. Undang-undang No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah.5. Peraturan Pemerintah No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan pemerintah dalam bidang pendidikan antara lain; (a) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional, dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya, (b) penetapan standar materi pelajaran pokok, …..(h) penetapan kalender tahunan bagi pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah.Perubahan kurikulum itu didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus-menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.Upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.Kebijakan pemerintah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi didasarkan pada PP Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah. Pada PP ini, dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dinyatakan bahwa kewenangan pusat adalah dalam hal penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Berdasarkan hal itu, Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).Adapun pengertian dari kurikulum pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan.Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill. Silabus adalah acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan penilaian mencakup indikator dan instrumen penilaiannya yang meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan adalah berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta didik; sedangkan bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dikerjakan oleh peserta didik, baik dalam bentuk tes maupun nontes (Departemen Pendidikan Nasional, 2004).Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan penyempurnaan Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui perbandingan antara Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Pendidikan Dasar

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.
Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.
Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.
Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.
Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".
Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"
Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.
Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.
Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.
Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.
Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa.
Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.
Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar. Semoga
Oleh : Marjohan (Guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

Pendidikan Dasar

Pendidikan Dasar dan Dasar Pendidikan

Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anakanaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar.
Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “dasar”. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku.
Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini ? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan.
Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan ”dasar pendidikan” karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.

Pendidikan Dasar

Pendidikan Dasar Masih Memprihatinkan
September 5, 2007



Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, maka ia akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Kenyataan yang ada, anak-anak usia sekolah di Kabupaten Mimika banyak yang tidak menerima pendidikan dasar yang layak terutama mereka yang tinggal di daerah pedalaman. Mereka tidak merasakan pedidikan seperti yang dirasakan oleh anak-anak yang berada di kota Timika. Mereka belajar dengan segala keterbatasan yang ada. Kekurangan tenaga guru, gedung sekolah yang kurang memadai serta buku-buku menjadi barang yang langka dan mewah.
Pendidikan dasar di Kabupaten Mimika saat ini sungguh sangat memprihatinkan, banyak anak-anak usia sekolah khususnya suku Amungme dan Kamoro tidak mengenyam pendidikan dasar dengan baik. Padahal pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak. Pendidikan dasar merupakan suatu pondasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Jika pendidikan dasar saja tidak diperoleh dengan baik bagaimana melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.

Permasalahan tentang pendidikan yang dihadapi di Kabupaten Mimika sangat banyak. Berbicara mengenai kualitas dan permasalahan pendidikan di Mimika sama halnya dengan pendidikan anak-anak Amungme dan Kamoro. Karena mereka inilah penduduk asli di Kabupaten Mimika dan lebih banyak berada di daerah pedalaman. Timika tidak bisa dijadikan tolok ukur mengenai kemajuan pendidikan karena kebanyakan masyarakatnya imigran.
Sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan tersebut, pemerintah daerah akan memberikan perhatian lebih kepada sektor pendidikan dengan harapan kualitas pendidikan di Mimika semakin meningkat. Pemerintah Daerah Mimika mengalokasikan dana yang besar setiap tahunnya dan pendidikan merupakan salah satu prioritas disamping program kesehatan, infrastuktur dan program lainnya.

Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya porsi dana yang besar, melainkan komitmen serta keseriusan dinas terkait untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Mimika. Kalau berbicara masalah dana, Kabupaten Mimika termasuk Kabupaten yang kaya. lihat disini

Jadi jika memang ingin memperbaiki dan membuat pendidikan dasar yang lebih berkualitas, hanya keseriusan dan kesungguhan dari dinas P&P saja.