Rabu, 11 Maret 2009

Pendidikan Dasar

KECERDASAN EMOSI BAGI GURU

I. Pendahuluan

Sudah kita mafhum bahwa banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan, seperti mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, kurikulum, dan faktor-faktor instrumental serta eksternal lainnya. Tetapi mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan kualitas, relevansi, inovasi, dan efisiensi pendidikan maka salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan upaya tersebut adalah guru, khususnya peningkatan profesionalisme guru . Di sisi lain, profesi guru sepanjang waktu selalu saja mendapat sorotan tajam. Dewasa ini tidak sedikit gambaran atau wacana yang diangkat untuk menunjukkan citra guru sedang dituding menurun bersamaan dengan pencitraan penghargaan masyarakat - dan juga pemerintah - yang mulai terkesan proporsional dan professional terhadap profesi guru dengan fungsinya yang strategis. Meskipun demikian sebagai suatu bangsa yang besar dan masih senantiasa menghargai profesi guru sebagai pembimbing dan pengembang sumber daya manusia menghadapi masa depan, suara dukungan dan upaya bagi pengembangan profesi guru akhir-akhir ini sangat menggembirakan. Salah satunya adalah transformasi IKIP sebagai lembaga pembinaan profesi guru menjadi universitas, serta ditingkatkannya kewenangan PGSD untuk menyelenggarakan program S1 bagi guru-guru SD yang sudah memiliki masa kerja tertentu. Transformasi ini bertujuan antara lain agar dalam format manajemen Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang baru, mampu dihasilkan calon-calon guru yang lebih professional. Calon guru professional ini harus mampu mengantisipasi, menjalani, dan memberikan solusi bagi tantangan masa kini dan masa depan yang makin global, transparan, kompleks, dan kompetitif.

Alih-alih menurun, sejak kini hingga masa depan tantangan profesi keguruan semakin meningkat. Dalam Mengangkat Citra dan Martabat Guru (Dedi Supriadi, 1999:73-74) mengangkat suatu tantangan yang harus siap dihadapi guru dan pada saat yang sama harus dicarikan solusinya oleh berbagai pihak terkait (birokrasi dan organisasi kependidikan). Salah satunya berkaitan dengan masalah ekologi profesi bagi guru, terutama guru SD. Pekerjaan guru (mendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber ketegangan lantaran iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan jaminan hak-hak kesejahteraan guru. Dalam hal beban birokrasi, guru (SD) harus berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administrasi yang bukan tugas-tugas profesional. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang masih memandang bahwa guru (SD) adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang melampaui kemampuan guru (SD) agar anak mereka menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, kondisi objektif di lapangan sangat mungkin guru (SD) menghadapi pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi -termasuk masalah kependidikan, yang menuntut dirinya harus lebih profesional dan bahkan siap 'bersaing' dengan peserta didik dalam hal itu. Beban-beban yang sudah berat itu, makin menjadi kompleks manakala guru (SD) -terutama yang hidup dikota - juga harus berjuang meningkatkan kemampuan finansial dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang memang masih jauh dapat dipenuhi dengan gaji mereka. Kondisi semua ini, dapat diprediksi kuat akan sangat berpengaruh timbale balik terhadap profil psikologis guru.

Beranjak dari paparan di atas, tugas professi guru masa depan sangat berat. Ia bukan saja harus memiliki sejumlah kompetensi akademis semisal penguasaan materi pelajaran, kepiawaian dalam merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan berbagai metode mutakhir, serta terampil dalam menggunakan alat peraga dan media pembelajaran; melainkan juga ia harus memiliki kematangan dan ketegaran kepribadian. Aspek kepribadian sebagai unsur penting dalam kinerja guru profesional akhir-akhir ini mulai banyak diangkat kembali oleh para pakar setelah selama waktu yang cukup panjang tersisihkan oleh gencarnya pembahasan teknis metodologis mengajar dengan landasan gagasannya diangkat dari aliran-aliran Behavioristik: teori belajar, conditioning, hukum pengaruh, dan Kognivistik. (Dedi Supriadi, 1999:10; Mohamad Surya, 2003:43: H.A.R Tilaar, 1999:295). Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini berkaitan antara lain dengan kemampuan seseorang (guru) dalam mengelola emosi terhadap diri dan orang lain, menghadapi kesulitan dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta kasih yang tulus, dan tanggung jawab. Sehubungan dengan tugas berat guru (SD) di masa depan, maka jelas tidak bijaksana kalau LPTK penghasil calon guru tidak mempersiapkan mereka dengan pembinaan yang menjadikannya sebagai calon guru yang memiliki kematangan kepribadian dengan kecerdasan emosi yang optimal. Pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas bimbingan dan konseling. Sehubungan dengan itu maka peran Bimbingan dan Konseling -yang selama ini 'guru yang dibina' terkesan disiapkan dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan di pendidikan dasar dan menengah - harus secara organik dan resmi difungsikan di LPTK

Makalah ini ditulis dengan tujuan menegaskan kembali perlunya para pengelola dan pembina LPTK khususnya PGSD -terutama para dosen mata kuliah dan petugas Bimbingan dan Konseling- untuk secara bersungguh-sungguh berorientasi kepada upaya aktualisasi karakteristik calon guru yang professional dalam berbagai penyelenggaraan perkuliahan. Selain itu, berdasarkan temuan-temuan inovatif serta tuntutan realistis maka harus ada program untuk mengakrabkan para mahasiswa calon guru terhadap konsep-konsep kecerdasan emosi, serta melakukan studi untuk mengetahui peta atau profil kecerdasan emosional (EQ) civitas akademika di lingkungan kerja LPTK (dosen, karyawan, atau aktivis kampus). Hasil studi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai titik tolak pembinaan mahasiswa calon guru terutama dalam hal memfasilitasi pengem-bangan kecerdasan emosi mereka. Hal itu didasarkan pada suatu asumsi dasar sebagaimana dikemukakan Gottman & DeClaire (1998:2) bahwa menjadi pengelola pendidikan (guru) yang baik membutuhkan lebih dari pada sekedar intelek, melainkan menyentuh dimensi kepribadian dan kematangan emosi. Permasalahannya adalah, bagaimanakah profil guru (SD) profesional itu? Serta bagimana pula profil kecerdasan emosi? yang sudah barang tentu kedua hal itu harus dimiliki guru (SD) dalam menjalankan profesinya serta mengantisipasi tuntutan kekinian dan masa depan yang akan dihadapi.

Sistimatika makalah sangat sederhana. Setelah pendahuluan di bagian pertama, pada bagian kedua akan disajikan kajian singkat teori berkenaan dengan karakteristik guru (SD) profesional dan konsep-konsep dasar kecerdasan emosi; setelah itu data/informasi pendukung dan hasil studi terdahulu beserta diskusi dan pembahasan akan disajikan pada bagian ketiga; dan akhirnya bagian akhir memuat kesimpulan dan saran.

II. Guru SD Masa Depan: Profesional Dan Kecerdasan Emosi

A. Profesionalisme Guru

1. Pengertian dan Ciri-ciri Profesi

Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, guru memiliki posisi sentral dan strategis. Karena posisinya tersebut, baik dari kepentingan pendidikan nasional maupun tugas fungsional guru, semuanya menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara profesional. Pembahasan tentang guru profesional terkait dengan beberapa istilah, yaitu profesi, profesional itu sendiri, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas.

Profesi adalah pernyataan pengabdian pada suatu pekerjaan atau jabatan (Piet A Sahertian, 1994:26), dimana pekerjaan atau jabatan tersebut menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional menunjuk pada orang atau penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Profesionalisasi menggambarkan proses menjadikan seseorang sebagi profesional melalui pendidikan. Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi yang menyangkut sikap, komitmen, dan kode etik; profesionalisme bisa tinggi, sedang, atau rendah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan keprofesiaan biasa disebut profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).

Penting untuk dicermati bahwa profesi memiliki beberapa ciri pokok. Menurut Dedi Supriadi (1999:96) cirri-ciri tersebut ialah, pertama, pekerjaan tersebut mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang 'lama' dan intensif serta dapat dipertanggungja-wabkan (accountable). Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finasial atau material.

2. Guru Profesional

Proses pendidikan di dalam masyarakat yang semakin maju, demokratis dan terbuka menuntut suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik secara profesional. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru profesional, yaitu guru yang memiliki karakteristik profesionalisme. Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Untuk itu ia harus telah memiliki kualifikasi kompetensi yang memadai: kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad Surya, 2003:28). Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru profesional abad 21 sebagai berikut.

1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality) sebagaimana dirumuskan Maister 'professionaism is predominantly an attitude, not a set of competencies only. Ini berarti bahwa seorang guru profesional adalah pribadi-pribadi unggul terpilih;

2) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Melalui dua hal ini seorang guru profesional akan menginspirasi anak didiknya dengan ilmu dan teknologi. Guru profesional semestinya ia adalah 'ilmuwan' yang dibentuk menjadi pendidik.

3) Menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat dan potensi peserta didik. Oleh karena itu seorang guru profesional harus lah menguasai keterampilan metodologis membelajarkan siswa. Karakteristik ini yang membedakan profesi guru dari profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak secara sungguh-sungguh dikuasai guru, maka siapa saja dapat menjadi 'guru' seperti yang terjadi sekarang ini. Akibat lebih lanjut dari ini adalah profesi guru akan kehilangan 'bargaining position'.

4) Pengembangan profesi yang berkesinambungan. Propesi guru adalah profesi mendidik. Seperti halnya ilmu mendidik yang senantiasa berkembang, maka profil guru profesional adalah guru yang terus menerus mengembangkan kompetensi dirinya. Pengembangan kompetensi ini dapat dilakukan secara institusional (LPTK), dalam praktik pendidikan, atau secara individual.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda